Seni Dalam Mendidik Anak

Satu-satunya profesi yang tidak ada lembaga, tidak ada gelar, tidak ada penjamin mutu, tertua di dunia, kekal sampai akhir hayat adalah keluarga. Keluarga merupakan suatu anugrah terbesar manusia yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia sejak Nabi Adam sampai nanti kita di akhirat. 

Pertanyaan kita parameter apa untuk mengukur keberhasilan keluarga? Jawabannya adalah menjadi teladan yang baik untuk anak dan lingkungannya.

Diskusi keluarga | Pexels.com

Tidak sedikit orang yang pendidikannya tinggi, bisnisnya moncer, prestasinya melejit, karirnya mentereng tetapi keluarga dan anaknya berantakan. Hal sebaliknya keluarga dari kampung, pendidikannya rendah, ekonominya pas-pasan tetapi keluarga dan anaknya baik. 

Tentunya setiap orang punya parameter yang berbeda (value) menetapkan keberhasilan keluarga, tetapi penulis yakin orang yang pendidikannya tinggi, ekonominya mapan, dari keluarga yang baik, berada di daerah yang baik akan memiliki peluang lebih besar berhasil membentuk keluarga.

Orang kampung, pendidikannya rendah, ekonominya pas-pasan juga bisa maju namun perjuangannya akan lebih berat terutama merubah mindset. Mereka harus memiliki manajemen ekstra baik waktu, biaya, tenaga dan kesabaran untuk mendobrak kebiasaan dan lingkungannya. 

Kita harus berterimakasih banyak kepada nenek moyang kita sebagai petani dari desa yang gagah berani mengusir penjajah Portugis, Spanyol, Belanda, Jepang yang telah menginjakan kakinya di tanah air dan menjadikan kita seperti saat ini. Hati-hati nanti kualat kalau menyebut “ndeso” dengan nada tinggi, semoga Allah SWT mengampuni.

Mendidik anak itu seni loh, bahkan kalau diibaratkan dengan bahasa gaul anak sekarang “seni tingkat dewa“. Kita yang berbeda generasi harus dihadapkan dengan mahluk kekinian yang berbeda zaman dan sifatnya, belum lagi harus berbenturan dengan kepentingan dari pribadi orang tuanya yang masih haus aktualisasi diri. 

Untuk berjalan tidak dapat menggerakan kaki bersama-sama ke depan atau ke belakang, agar berjalan dengan baik otomatis harus ada satu kaki yang melangkah duluan. Begitu juga dengan keluarga, apakah kita akan fokus kepada anak atau memenuhi kebutuhan individu orang tuanya?

Anda tentunya punya jawaban sendiri! Bagaimanapun kondisinya kita harus mendidik dan memberikan contoh/teladan yang baik. Jangan sampai hilang masa keemasan mereka terlepas kepada orang lain, mencari figur orang lain, mencari kasih sayang dari orang lain, mencari perhatian dari orang lain, dan merugikan orang lain. Kita sebagai orang tua harus mengambil kendali dan siap dengan segala hal yang akan dihadapi.

Berikut beberapa seni “tingkat dewa” mendidik anak:

1. Siap dengan pendidikan. Pendidikan akan berpengaruh terhadap pola pikir (mindset) orang tua, semakin tinggi pendidikan anak semakin baik. Akan berbeda cara mengurus anak lulusan SD dengan S1 atau dengan S3. Namun sebaik-baiknya pendidikan ini akan efektif apabila dibarengi dengan Agama. Ingat kata bijak dari Albert Einstein “ilmu tanpa agama akan buta, agama tanpa ilmu akan pincang“.

2. Siap dengan waktu. Kita harus siap dimana kenyamanan dan waktu kita diambil alih oleh anak. Saat belum punya anak kita santai, bangun kesiangan, shalat telat, makan semaunya, pulang kantor larut malam. Hal sebaliknya untuk memberikan contoh dan membiasakan anak sekalipun berat tetapi kita harus melakukannya. Setelah punya anak harus mengajak mereka bangun tepat waktu, makan disiplin, shalat berjamaah, pulang kantor lebih awal untuk mendampingi anak belajar dan tidur, mengantar sekolah, libur bersama, dan lain-lain.

Konsultasi anak | Pexels.com

3. Siap dengan biaya. Anak adalah investasi jangka panjang, biaya yang harus ditanamkan kurang lebih 25 tahun. Bagi muda-mudi yang belum menikah, siap-siap me-manage keuangan untuk investasi hari pernikahan (1 hari), investasi tabungan anak (25 tahun), investasi operasional keluarga 58 tahun (apabila menikah pada usia 27 tahun, dan meninggal pada usia 85 tahun).

4. Siap dengan resiko. Anak memiliki sifat yang berbeda, ada yang super, normal dan abnormal. Dalam keluarga tidak ada istilah mantan anak, baik dan buruknya akan kembali kepada keluarga. Kurang pintar, kita harus siap dan tawakal. Merusak barang orang, harus siap mengganti dan meminta maaf. Berbuat tidak senonoh, siap bertanggung jawab. Berprestasi dan membanggakan keluarga, Alhamdulillah itu lah harapan dari seluruh orang tua.

5. Siap dengan kemandirian. Anak adalah investasi namun akan dilepas ke pasar bebas. Kita bangun dan besarkan, ketika sudah ada investor (menikah) kita harus ikhlas melepaskannya. Mereka akan menjadi milik investor dengan hak dan kewajiban utama untuk keluarganya. 

Orang tua jangan mengharapkan balas budi dari mereka, tetapi harus siap menerima mereka apabila mendapatkan kegagalan. Orang tua harus siap sendiri, mandiri, ditinggalkan oleh anak demi kemajuan mereka. Apabila anak peduli dan memuliakan orang tua itu sebagai bonus (royalty) dari pendidikan dan agama yang ditanamkan sebelumnya.

Selamat menciptakan seni membentuk anak, lukislah kehidupan mereka dengan hal-hal positif dan bermanfaat. Semoga menjadi berkah bagi kehidupan dunia dan akhirat. Aamiin.
Posting Komentar